Oleh: Ilhan Erda.
Penulis bekerja di Univ Paramadinah
Dalam hal ini, saya tak ingin spesifik bahasannya puisi saja, tapi juga dari seluk beluk awal, filosofis dan backround daripada si pawang itu sendiri. Siapa Sumanang Tirtasujana ? Kedalaman puisi puisinya, sikap berkesenian dan ke-Penyairnya.
Sebelumnya secara personal, saya sudah liput dan menelisik . Uraian dan basik diri lelaki asal Pituruh Purworejo ini. Dimana saya masukan ke Buku seri 1 Ensiklopedia saya. Sumanang Tirtasujana adalah salah satu Mutiara dari Bagelen.
Pernah menjà bat Ketua Dewan Kesenian Purworejo yang fenomenal , memperjuangkan adanya Gedung Kesenian hingga ada. Tentu saja beliau bukan pemain sore di blantika kesusasteraan kota sepi ini. Karena menempuh akademiknya di Jogjakarta dan jejaring, iklim serta aktifitas seninya di kota Jogja yang jadi barometer seni nasional.
Telah melarut dalam jiwanya dan membentuk personal, pola berfikir Beliau seperti sekarang ini.
Mulutnya sangat berbisa. Fikirannya transeden liar dan bisa dikatakan lebih dari Seniman. Tetapi dia perlente dan uniq kategori sebagai Penyair di kota kelahirannya ini dilihat dari penampilannya saat beraksi .
Pada umumnya para Legenda kata di Indonesia bisa memberikan sebuah deviasi atau semacam kenakalan berfikir, keliaran dari sebuah kelaziman seniman cerdas. Sering diundang ceramah budaya di berbagsi forum budaya dan Universitas.
Dari sosok satu ini bisa dikatakan sangat-sangat khas dan sedikit berbeda dibandingkan dengan seniman yang serupa atau sama-sama mendalami basis kepenyairan, kritikus sastra atau sejenisnya.
Sumanang Tirtasujana dengan Alm penyair Iman Budhi Santosa Jogjakarta.
Dari awal menginisiasi banyak sekali pusat dan orgainisasi sastra budaya di Jogjakarta seperti Forum Pengadilan Puisi Penyair Jogjakarta, Kelompok Satra Pendapa Taman Siswa. Mendirikan Cagar Seni Menoreh bersama ES Wibowo.
Aktifitas kepenulisannya Sumanang, selain penyair,telah ditempatkan sebagai seniman pemikir, pemergati. Bahkan sering membedah puisi puisi penyair lainnya di beberapa media masa.
Karyanya sudah tak terhitung dan salah satunya sudah dialihbahasakan ke 3 bahasa yakni Bahasa Jerman, Inggris dan Indonesia yang bertajuk Antology Equator. Tahun 1995 diundang Pidato Kebudayaan 50 Seniman Indonesia dalam rangka 50 Th Indonesia Merdeka.
Imajinasi, logika dan kelenturan dari sosok satu ini saya kira sangat-sangat maju. Dan bisa dikatakan selangkah dari penyair-penyair di wilayah Kedu ini.
Berikut 2 judul sajaknya nya yang berjudul Akupun Telah jadi Ikan dan Perjamuan Luka.
Akupun Telah Jadi Ikan
Seperti manusia yang mencintai dunia kekal.
Akupun telah jadi ikan yang memilih rumah. Di kedalaman lumpur, hutan lumut atau batu batu.
Iñgin luput dari perangkap dan racun.
Seluruh riwayatku bertualang. Di situ aku menemukan mimpi nyata. Bukan igauan tualang yang meronta.
Ritme pada dinding dinding batu, mengusik anak anakku. Bagai bara serdadu.
Setiapkali sunyi bersaksi atas alam yang jernih. Kulepas sisik sisikku , satu satu jadi benih.
Kutebar keseluruh penjuru mata air. Tumbuh menggenapi tualangku.
Seperti angin yang berumah pada keluasan alam. Aku pun mencintai dunia kekal. Memilih tempat rumah Tinggal.
Ditilik dari prasyarat sebuah sajak konvensional. Tentu alunan dari Sumanang Tirtasujana adalah masuk di kategori ini. Dan biasa saja. Berlanjut ke fase dari dari pola-pola sajak nya, beliau lebih suka menanggalkannya dan memilih bermain dengan keliaran-keliaran dari tema dan susunan kata imajinasi yang coba dipahat dan dirangkai menjadi satu komposisi utuh dan selesai dari sebuah sajak lengkap.
Dari kesemuanya dua judul puisi nya ini, ada satu kelebihannya. Walau perlu dibaca minimal dua kali agar faham dari pesan, dan intisari apa dari puisinya ini. Tentu saja sangat berbobot. Dan ada pembeda. Dimana saya bisa mengatakannya lebih selangkah daripada yang lain. Sekali lagi begitu.
Beberapa diksi kata nya ialah sangat-sangat umum. Tapi dari campuran dan juga perkawinan beberapa kata. Misal di sisi judul beliau sangat apik sekali membuat komposisi dan padanan katanya.
Ada komparasi atau analogia antara manusia dan hewan. Dalam hal ini adalah ikan dengan dilekatnya pada judul.
Kita menemukan di beberapa kalimat seperti: Seluruh riwayatku bertualang // Di situ aku menemukan mimpi nyata // Bukan igauan tualang yang meronta // Ritme pada dinding-dinding batu mengusik anak-anakku .Bagai bara serdadu.
Sama juga pada puisi selanjutnya yang berjudul
Perjamuan Luka.
Lidahpun menjulur bagai mata pisau.
Siap membelah hidangan sekeras batu karang .
Siap membabat hidangan pergulatan .
Lidahku pun siap menyantap ludes hatimu.
Lihat kata katanya.Kata-kata sederhana. Sangat mudah dan familiar dengan keseharian. Lantas dibenturkan atau dianalogikan dengan tema pilihan yang penyair ini sepakati tentunya.
Lalu digunakanlah sebuah reposisi, atau menggiring dari psikologi pembaca untuk sampai fase akhir puisi.
Pun saat membaca pertama, sangat–sangat masih asing atau a belum faham makna atau pesannya. Baru saat dibaca kedua kalinya baru faham dan membuat satu titik kepuasan atau ada kesimpulan dan tidak garing.
Saya kira kedalaman makna dan juga kekhasan dari logika liar Pak Sumanang . Aktifis budaya dan seorang pemikir soliter.
Serta kepiawainnya merangkul semua sahabat-sahabat seni se Indonesia, baik tua atau muda dari seorang Penyair yang dasarnya adalah Priyayi Desa tapi bervisi modern. Jauh ke depan ini.
Beliau suka memberikan semangat, agar para generasi muda mampu berkarya menerobos sekat-sekat pembatas dan aral yang ada. Seperti primordial wilayah, senioritas, kepicikan berfikir dan berproses atau banyak hal lainnya.***
Ilhan Erda
Adalah seorang penulis. Kini bekerja di Universitas Paramadinah Jakarta.
No comments:
Post a Comment