SAJAK SAJAK SETIYO BARDONO DEPOK - Koran Purworejo

Breaking










Sunday, February 18, 2018

SAJAK SAJAK SETIYO BARDONO DEPOK



Untuk memberi Ruang  Publik. Rubrik BUDAYA KoranPurworejo.Com menerima tulisan karya yang relevan,  seperti Puisi, Cerpen, Laporan Diskusi, Ulasan pentas dan sejenisnya. Akan dimuat disetiap hari Minggu.Rubrik ini digawangi Penyair dan Essays Sumanang Tirtasujana.

Berikut Sajak -Sajak Setiyo Bardono Depok.


PUISI-PUISI
SETIYO BARDONO


STASIUN MATI

Siapa yang menghidupkan stasiun mati? 
Cahaya lampu minyak tanah di atas gerobak yang patah satu kakinya setelah lelah menapaki perjalanan usia. Kerdip nyala di buram mata perempuan tua yang tekun menata asa selepas senja.

Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Cahaya layar telepon genggam di tangan perempuan yang muncul dari bantaran. Rimbun ilalang merunduk terbius wangi. Langit senja terlena menceburkan diri.

Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Cahaya lampu sepeda motor yang padam saat malu-malu menyusuri tanggul sungai menuju stasiun itu.

Siapa yang menghidupkan stasiun mati?
Kereta yang termangu menatap cahaya remang dan tergagap menterjemahkan percakapan bayang-bayang.

Sinyal Masuk Stasiun Mampang, 27 April 2017
---------------------------------------------------------------

NISAN DI TEPI JALAN

Debu rindu menebal di wajah
nisan-nisan meratap di tepi jalan.

Telah terukir indah nama,
garis batas penanda usia
: tangis kelahiran - ratap kematian.

Entah sampai kapan nisan menunggu
seseorang mengantarnya menuju pusara.

Ah, siapa tega menguratkan harapan
mengendapkan cinta tak teralamatkan.

Andai punya kaki tangan
nisan-nisan akan berjalan
dari makam-makam, mencari sesosok raga
dengan nama yang tertulis di tubuhnya.

Depok, Januari 2016
---------------------------------------------------------

KARNA

Namanya Karna, putera masinis yang menempa anak panah kesabaran di atas rel kereta. Kehidupan pinggiran jalur berbatu menajamkan kepekaan telinga.

Dalam pandangan berkaca-kaca, di peron stasiun, Pandawa dan Kurawa tekun belajar bimbingan memanah  dari Begawan Dorna. "Seorang lelaki membutuhkan senjata agar bisa menjadi ksatria," batinnya.

Dirautnya tulang kukuh melengkung busur panah. Jika seucap dusta bisa mematahkan sayap kereta, lempang keyakinan akan menerbangkannya meraih tahta.

Anak panah Karna melesat mengejar laju kereta. Masinis kereta menatap laju anak panah dari balik kaca. Anakku, Terus berlatihlah mengendalikan amarah, teguhlah engkau di jalan panah.

Depok, 28 Oktober 2016
---------------------------------

KELOMANG

Aku kelomang penuh warna dan lincah,
kepiting pertapa dipaksa memikat bocah
dalam baskom keramaian pasar tumpah
dalam binar pandang kanak-kanak sekolah rendah.

Hidup di laut dangkal,
menyelami kedalaman akal.
Menyeret cangkang menyangga rumah,
ruang kosong penjaga tubuh lemah.

Kepiting pertapa kadang berpindah rumah,
tapi tak suka dipaksa ke ruang entah.
Hidup terkurung dinding warna terang,
gambar tokoh kartun menghiasi pandang.

Aku kelomang kepiting pertapa,
menjauhi zikir pasir secara paksa.
Dirayu umpan manis tebu,
membusuk mati tanpa kau tahu.

Depok, 28 Oktober 2016
---------------------------------

BALA- BALA

Siapa sejatinya mendambakan cabai rawit
: bala-bala atau lidah?

Perasaan wortel yang teriris, tubuh kol yang menyerpih, lebih membutuhkan tepung terigu untuk menyatukan adonan rindu.

Hidup tak lurus mulus, kadang berbelok kadang bengkok. Serupa batang kecambah, tercerabut bersama akar, tak sempat tumbuh besar.

Setelah berkubang panas, haruskah bala-bala mengecap pedas. Namun lidah tak pernah puas, pada rasa yang singgah sejenak cepat melintas, tak peduli beban perut menampung dan mencerna ragam peristiwa.

Pada gigitan cabai rawit pertanyaan hidup bertambah rumit: siapa sejatinya mendambakan pedas rawit?

Tidakkah kau tahu, ketika harga cabai melambung tinggi, bala-bala tetap hadir dengan rendah hati.

Depok, 11 Februari 2017
----------------------------------------------------

LAKSA

Di mangkuk ini, perjalanan rindu menapaki kedamaian senja. Rambut yang memutih menyandarkan segenap perasaan pada perasan santan kelapa tua.

Kita akan sering duduk di beranda dengan sedikit cakap dan sebersit harap: kereta yang sesekali datang atau deru bus antar kota yang mengerang dan menghilang, membawa serta tawa kanak-kanak, menghapus rindu yang tanak.

Di pekarangan, anak-anak ayam ramai berkeciap mencari induknya. Mereka harus belajar menjadi dewasa. Semalam pisau tajam mengabarkan kematian, pengorbanan untuk menjaga denyut kehidupan.

Di separuh telur, juga sepasang matamu terpancar kuning purnama, roda nasib yang tabah menapaki perjalanan usia dan berbinar menyelami rasa.

Di sela rambut putihmu, aku mencium wangi kemangi. Dadaku dipenuhi aroma kesetiaan yang abadi.

Cibinong, 28/10/2016
----------------------------------------------------

MENULIS PUISI DI DINDING KULKAS
Menyusun huruf-huruf di dinding kulkas, puisi tak lekas tuntas. Tiap kali aku merapikan susunan kata. tangan mungilmu mengacaknya. Di lantai, huruf-huruf berserakan. Satu-persatu hilang tanpa sempat menuliskan pesan.

Walaupun hati gundah, aku tak boleh marah. Puisi harus kujauhkan dari sumpah serapah. Telinga kecilmu harus bersih dari kata tak ramah.

Saat rumah rapi, kudapati tubuhmu tergolek memeluk sakit puisi. Huruf-huruf di kulkas termangu meratapi sepi. Lekas sembuh Nak, agar kita bisa bersama mengacak kata.

Saat dewasa, mungkin engkau akan menggembara untuk menulis puisimu sendiri. Di saat itu aku akan merindukan tangan-tangan kecil mengacak-acak puisi di dinding hati.

Depok, 20 Januari 2016
----------------------------------------------------

KUNANG-KUNANG

Sita, bagaimana ayah harus menceritakan perihal kunang-kunang, kerlip terbang yang sudah lama hilang. Mungkin kunang malu dengan terang lampu, kesulitan mencari minyak tanah, atau kehabisan sumbu.

Sementara tubuhnya terlalu mungil untuk terbang menenteng tabung gas tiga kilogram, nanti bisa jatuh terkena kepala ayah: aduh! Selain itu tertulis jelas gas bersubsidi hanya untuk masyarakat miskin. Bukan kunang-kunang kurang mampu. Nak, kunang-kunang hidup bersahaja, tak kenal istilah miskin kaya.

Sepertinya kunang lebih suka menyepi di pekuburan, tepian empang, persawahan, dan tempat-tempat gelap yang belum terjamah penerangan. Mungkin juga kunang memilih terbang tinggi ke angkasa berbaur dengan bintang-bintang, tempat dimana nanti kamu mengantungkan cita-cita dan harapan.

Sita, kata ibu, kunang lahir dari serpihan kuku. Karena itu, jangan sebal kalau ibu rajin memeriksa dan memotong kukumu. Ibu hanya ingin menghidupkan kunang-kunang di binar matamu. Ibu hanya ingin merangkum cahaya bintang di bening hatimu.

Depok, 20 Januari 2016
----------------------------------------------------

CICAK-CICAK DI DINDING

Cicak-cicak yang suka menguping dinding,
diamlah walau kau dengar rahasia genting.

Simpanlah rahasia di relung telinga,
jangan sampai menyebar menjadi kata.

Dinding-dinding yang punya banyak kuping,
senyaplah walau kau serap rahasia penting.

Cicak dan dinding bicaralah padaku,
jika rahasia itu tentang aku.

Cicak-cicak asyik merayapi dinding rahasia,
mengintip sepasang nyamuk bercinta di udara.

Hap! sayap rahasia terperangkap
jatuh terjerembab ke dalam senyap.

Depok, 29 Januari 2016
----------------------------------



*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). 

No comments:

Post a Comment